Kamis, 23 Mei 2013

Perindu

Karna pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran
dan pertemuan kedua menyisakan rasa rindu,
maka kuharapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya

“Akhila..”
“Iya, saya,” jawab seorang gadis berambut pendek. Kemudian ia mendekat ke sumber suara. “Saya pinjam buku-buku ini, Pak,” ucapnya pada petugas perpustakaan
“Sebanyak ini?” kata petugas perpustakaan, dahinya berkenyit.
Gadis berambut pendek tersebut hanya mengangguk.
Kemudian petugas perpustakaan itu mencatatkan sesuatu di layar computer di hadapannya, kemudian kembali bersuara “Akhila, diingat ya, waktu meminjamnya tiga hari.” Kata petugas perpustakaan sambil menyerahkan kartu pepustakaan kepada Khila.
“Iya, Pak.”
Khila baru saja keluar dari perpustakaan, tangannya mendekap seonggok buku. Tiba-tiba, brakk. Seseorang menubruk Khila, buku-buku ditangannya jatuh, berhamburan ke lantai. “Sial!” gerutunya dalam hati. Khila segera berjongkok memunguti buku-bukunya di lantai.
“Sori, gue nggak sengaja,” ucap seorang anak laki-laki yang baru saja menubruk Khila.
Khila diam, tak menghiraukan.
“Maafin ya, tadi nggak sengaja” ucap anak laki-laki itu lagi, kali ini ia membantu Khila memunguti buku-bukunya.
Merasa ada yang membantu, Khila buru-buru berucap “Thanks, ya udah ngebantu.”
“Iya, sekali lagi sori ya.”
“Sip, woles aja kali” Ucap Khila, matanya menatap wajah anak laki-laki di depannya. Khila tak mengenali siapa anak laki-laki di hadapannya, maklum, baru dua minggu ia menjadi siswi SMA.
“Oke, gue permisi dulu ya.”
Si anak laki-laki berlalu. Khila masih memerhatikannya, beribu-ribu pertanyaan muncul dalam benak Khila. Siapakah sosok yang baru saja menabraknya.

***
“Fa, ke kantin yuk! Aku pengin beli lollipop nih.” Renggek Khila pada Ifa, teman sebangkunya.
“Iya bentar, tanggung nih” Kata Ifa, matanya masih menatap gadget di tangannya.
“Ah, kamu, dari tadi online mulu,”
“ Lah kamu, dari dulu makanannya lollipop mulu!”
“Ifaa, ayuk, anterin.”
“Iya, iya, ayuk.”
“Nah, gitu dong.”
Khila dan Ifa berjalan menyusuri koridor kelas, menuju kantin terdekat, di ujung kelas sepuluh.
“Khil, aku duduk disini ya. Kamu beli lolipopnya jangan lama-lama ya.” Kata Ifa yang masih sibuk dengan gadgetnya.
“Siap, bos!”
Khila mencari lolipop kesukaanya, lollipop rasa coklat, matanya beredar ke seluruh ruangan. “Yap, ketemu.” Khila segera mengambil lollipop yang tergantung di tembok.
“Hey, lo kan yang tadi nggak sengaja gue tabrak di depan perpus tadi, kan?
“Iya, bener.” Khila menatap wajah anak laki-laki di depannya, anak yang telah membuat buku-bukunya jatuh. Khila masih tak mengenali siapa anak laki-laki di hadapannya
“Oh iya, kenalin gue Karil, anak X-B” kata si anak laki-laki, seakan-akan  menjawab pertanyaan dalam pikiran Khila.
“Aku Akhila, panggilnya Khila aja. Anak X-G” ucap Khila, spontan.
 “Oke, salam kenal Khila.” Kata Karil, mengulurkan tangan.
"Iya, salam kenal juga.” Khila menjabat tangan Karil, ia tersenyum, lesung pipitnya terlihat jelas
Karil memperhatikan senyuman Khila. Sejenak kemudian ia tersadar, ia melepaskan tangannya dari jemari Khila. Tapi matanya masih mengawasi senyuman Khila.

***
Karil menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia memejamkan mata. Sekelebat bayangan masih terekam jelas di matanya, sebuah senyuman manis dari gadis berambut pendek yang tadi siang ia temui. Karil merindukan senyuman itu, merindukan lesung pipit milik gadis itu. Ia merindukan Akhila.

Rabu, 17 April 2013

#GebetanDiambilSahabat?!


Pernah nggak, tiba-tiba kamu denger sahabat dekatmu -temen curhatmu- jadian sama gebetan kamu? Nyesek banget kan ya? Pasti kamu pengin banget neriakin kalimat-kalimat ini di telinga sahabat kamu, sekeras mungkin, sambil nangis-nangis:
“Aku sayang dia duluan, kenal dia, dan memahaminya duluan! Eh, akhirnya kamu yang malah bersamanya.”
“Aku selalu cerita tentang dia kepadamu, tapi entah mengapa kamu malah menjadikan dia kepunyaanmu?”

Dan kamu akan meratap kayak gini:
“Cintai dan perhatikan dia sedalam aku mencintai dan memerhatikannya. Jaga kebahagiaannya untukku.”
“Ini memang tidak adil buatku. Berbahagialah kalian seutuhnya, aku bantu mendoakan.”
“Berbahagialah kamu dengannya. Aku memperbaiki hatiku yang remuk sendirian. Menerima kenyataan.”

Udah.. Coba deh, simak tips saat #GebetanDiAmbilSahabat, di bawah ini:
1. Mantan gebetan boleh, tapi jangan sampai ada yang namanya mantan sahabat. #GebetanDiAmbilSahabat
2. Sadari kesalahanmu, kenapa kamu gak mengungkapkan perasaanmu? Pada akhirnya, dia tak tahu. #GebetanDiAmbilSahabat
3. Mengenai sahabatmu ini, sebenarnya tak ada yang salah di sini. Adakah yang salah dalam cinta? #GebetanDiAmbilSahabat
4. Ketika #GebetanDiAmbilSahabat ada hal positifnya juga, kamu tahu bagaimana perasaan mereka yang sesungguhnya.
5. Ketika #GebetanDiAmbilSahabat berbuatlah elegan. Jangan marah, ngambek, dan berubah. Itu tidak dewasa.
6. Tetap jaga hubungan kalian, meskipun #GebetanDiAmbilSahabat kamu harus belajar menerima kenyataan dan dewasa.
7. Jangan ciptakan permusuhan hanya karena kalian mencintai satu orang. #GebetanDiAmbilSahabat
8. Ketika #GebetanDiAmbilSahabat sebenarnya itu hak sahabatmu juga. Gebetan bukan pacar lho. Jadi, jangan marah berlebih.
9. Semuanya tak akan kembali seperti dulu lagi, tapi bersikaplah elegan. Dewasalah. Ikhlaskanlah. #GebetanDiAmbilSahabat
10. Ketika #GebetanDiAmbilSahabat yang harus menjadi fokus utama adalah kamu tak perlu menunjukkan kesedihan. Gak dewasa.

Intinya, saat #GebetanDiAmbilSahabat kauharus belajar memahami. Jadilah dewasa, belajarlah agar kamu tak seperti sahabatmu yang sempat menyakiti. Kamu tak perlu meratap dan menjelek-jelekan sahabatmu. Jaga persahabatan. Jangan ciptakan permusuhan. Semua akan baik-baik saja saat kaubelajar menerima #GebetanDiAmbilSahabat. Kamu berhak bahagia. Hanya karena #GebetanDiAmbilSahabat bukan berarti kebahagiaanmu juga ikut terenggut Ingat, manusia terbaik adalah manusia yang bisa memaafkan. Itulah yang harus kaulakukan ketika #GebetanDiAmbilSahabat :))
Well, #GebetanDiAmbilSahabat? Stay cool! Ada miliyaran orang di dunia, mengapa satu masalah bisa membuatmu begitu sedih?

Adapted from: https://twitter.com/dwitasaridwita

Selasa, 16 April 2013

Menunduk


Tubuhku kaku, mematung. Mata itu menatapku, menyihirku. Rasanya aku berada di dunia tanpa rotasi bumi. Seakan-akan bumi berhenti, ikut terpana menyaksikan padangan kami bertemu. Buru-buru kupalingkan pandangan, aku menunduk. Ah, terlanjur! Secepat kilat tatapan itu menembus kacamataku. Kemudian jatuh dan terjejal di hati, tak mau pergi.
Kemarin, dia duduk di sampingku, ini kali pertama kami duduk bersebelahan. Di sampingku ia menikmati hobinya; membaca. Aneh, ada sesuatu berdesir-desir di dada. Jantungku berdegub, lebih cepat dari biasanya. Aku berusaha menguasai diri, kupalingkan mataku pada buku yang sedari tadi aku genggam. Aku tak konsentrasi membaca, mata ini lebih sering melirik buku yang ada di pangkuannya.
Bibirnya bergetar, suaranya menyengatku, memecah keheningan antara kami, dia menyapaku. Jantungku berdegub, lebih cepat dari sebelumnya. Aku tak menimpali sapanya, sungguh aku gugup. Aku tak berani memandang wajahnya, aku kembali menunduk, melirik buku di pangkuannya. Selanjutnya, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ia melanjutkan bacaanya. Dan aku susah payah mengatur detak jantung.
Aku tak pernah kuasa jika di dekatnya, tak bisa berdiri tegak dengan dua kakiku sendiri. Aku hanya bisa meliriknya, melirik senyumnya dari sudut ini. Mengawasi garaknya dari sudut ini. Dan kembali menunduk saat ia mengedarkan pandangannya ke arah ku. Di sudut ini aku menunggu, menunggunya duduk di sampingku lagi.
Lalu, tatapan yang kau lempar tadi, Tatapan kagum seperti yang kurasakah? Atau kau tak sengaja menatapku? Lalu, perasaan ini, haruskah hanya aku yang tahu? Memendamnya, dan menunggumu menanyakannya?
Esok, dia tak lagi duduk di sampingku. Tak lagi menyihir dengan sorot matanya. Hatiku menangis, aku tersadar, dia yang kutunggu tak kan datang. Ia telah tenggelam dengan lain. Aku kembali menunduk, meratapi perasanku sendiri. Tapi anehnya, hatiku masih ingin menunggunya. Tatapan itu masih terjejal, terpendam lebih dalam, tak mau pergi.

Jumat, 05 April 2013

Edisi Sok Bijak




Kawan, pernah mendengar kisah empat orang buta merabah gajah? Pernah dong masak belum pernah sih, kisah ini terkenal ke seantero dunia lho(?!) Coba deh diingat-ingat, pasti pernah dengar. Itu lho kisah yang katanya dari India atau Persia. Yakin belum pernah dengar? Ya sudahlah kawan, aku juga belum pernah dengar. (-_-“) Tapi aku pernah membacanya. Penasaran? Akan aku ceritakan.
Katanya sih, kisah ini berasal dari India atau Persia. Kurang lebih ceritanya seperti ini: ada empat orang buta yang pengin tahu betul kayak gimana sih bentuk gajah itu? Nah, suatu hari ada seorang yang membawakannya. Dengan antusias, keempat orang ini mulai mendekati gajah tadi dan mulai merabanya.
Orang buta pertama meraba belalainya, sedangkan orang buta yang kedua meraba telinganya. Orang buta yang ketiga mulai meraba ekornya dan orang buta yang keempat meraba kakinya. Kemudian setelah keempatnya selesai, mereka kembali berkumpul dan mengutarakan pendapatnya sendiri-sendiri tentang bagaimana bentuk seekor gajah.
“Waah, betul-betul luar biasa ya? Ternyata gajah itu kayak selang ada lubang di ujungnya,” kata orang buta pertama.
“Siapa bilang? Gajah itu bentuknya tipis dan halus kayak daun pisang.” Orang buta kedua menimpali.
“Gimana sih, kalian ini?! Gajah itu kayak ular, bentuknya panjang, tahu!” Orang buta ketiga menyela dengan tak kalah sengit.
“Kalian semua salah! Aku berani bertaruh, gajah itu kuat dan kokoh kayak batang pohon!” Orang buta keempat berteriak sambil marah. Akhirnya, keempat orang buta tadi bertengkar satu sama lain.
Kawan, kira- kira amanat dari kisah di atas apa? Kalau bingung, coba deh, ibaratkan gajah sebagai kebenaran dan ibaratkan keempat orang buta tadi sebagai saksi. Coba kalau keempatnya bisa melihat, kan gaperlu banyak omong dan bertengkar. Mereka bisa melihat kebenaran, yakni bentuk gajah yang real.
Sebenarnya kisah di atas adalah sindiran bagi kebanyakan orang -terutama kita- yang sok tahu. Ngakunya pendapatnya yang paling benar. Seolah kita sendiri yang tahu. Padahal kita hanya menggunakan perangkat terbatas seperti orang buta tadi, dan hanya tahu sepenggal dari kebenran yang ada. Terlebih dengan pede-nya kita berani menyanggah kesaksian dari orang lain, tidak sopan, kawan.
Ah! Sok bijak!

Mengenal Al-Ghazali (94-97)
Dengan perubahan semau saya.