Sabtu, 14 Mei 2016

Tak Apa Jika Kamu Terluka, Karna Kamu Masih 18 Tahun



“Saat pertama kali belajar berenang, mereka akan ngajarin kamu ngrasain air kaya rumah. Menahan napas di dalam air, menyelam. Terus, belajar teknik pernapasan, mengapung horizontal dan menendang. Kalau kamu nggak bisa nguasain tahapan sebelumnya kamu nggak bisa belajar ke tahap selanjutnya. Jadi, cobalah belajar menahan napas dulu, awalnya memang sesak, tapi fase ini harus dilewati supaya akhirnya kamu bisa berenang.”
Usia 18 tahun. Ibarat kita belajar berenang di usia inilah fase dimana kita belajar menahan napas. Banyak mimpi yang ingin kita capai dan bukan hal mudah untuk mengejarnya. Usia yang masih terlalu dini untuk mewujudkan semua impian kita. tapi yang perlu kita tahu, setiap hari adalah hari yang bagus untuk memulai mimpi-mimpi itu. Dan, sulit emang saat kita gagal. Tapi itulah saat yang seribukali lebih baik untuk kita belajar dan bangkit lagi.
Cinta yang kita pikir akan selamanya, mungkin hanyalah omong kosong dan akan berakhir saat kita masuk universitas. Karena masih 18 tahun, remaja saling mencintai seolah hari ini adalah hari terakhir mereka. Begitu juga membenci. Kita terlalu membenci seseorang seolah nggak ada orang yang lebih jahat dari orang yang kita benci. Kita akan sulit memaafkan orang lain.
Kita belum sepenuhnya dewasa, di umur segitu kita akan mudah terluka dan banyak  merasakan masa sulit. Tapi, saat-saat inlah juga saat-saat yang paling berkesan. Yaitu saat ada orang yang ngulurin tangannya pas kita jatuh, yup bener, teman.
Tidak lebih, tidak kurang, satu orang aja. Dekati teman yang menangis. Terus katakan padanya “Aku dan kita. Nggak peduli rintangan apa yang menghadang, semuanya bakal kita hadapi. Tak apa jika kamu terluka karna kamu masih 18 tahun.”
                                                    Adapted from: School 2015

Selasa, 01 September 2015

September




Nggak nyangka September tahun ini datang lebih cepat. Tahun lalu pas September datang yang aku khayalin adalah, Tahun depan hidup aku gimana ya? Aku ngerantau kemana? Dan aku lagi apa? Ternyata khayalan cuma sekedar khayalan. Kenyataannya hari ini aku masih di rumah dan lagi nulis entri yang belum tentu ada orang yang mau baca.
Akhir masa sekolahku ditutup dengan sangat mengecewakan. Semua berawal dari awal 2015. Anak-anak pada tau masa kontrak kita di sekolah tinggal ngitung hari. Pertengahan April adalah akhir perjuangan kita dan kita harus bener bener angkat kaki setelah wisuda di 23 Mei. Dibulan April itulah akhir perjuangan kita dan kita harus berusaha mati-matian dengan menempuh jalan apapun itu.
Sulit buat aku dan mungkin beberapa teman buat maafin hal ini. Yang bikin aku dan mungkin beberapa temen kecewa adalah the annual book yang udah direncanain sejak awal 2015 belum datang juga hingga acara di 23 Mei. Dan baru bisa diambil pertengahan Agustus lalu. Kecewa dong, harusnya kan tuh buku dateng pas yang lain masih pada free dan kita bisa ngulik isi buku itu bareng-bareng sambil ketawa ketiwi. Mana aku kangen banget guyon bareng mereka.
Ya emang sih, aku sempet ngebahas bukunya sama Beta, tapi itupun cuma pas disuruh sama Mas Dedi buat ngecek ada atau enggaknya cacat pada buku. Walau sangat menyangsikan dugaan Mas Dedi, aku sama Beta tetep nurutin perkataan dia. Gimana nggak sangsi coba orang harga bukunya aja hampir dua kali lipat dari harga tahun lalu, apalagi mengingat percetakannya di ibukota provinsi, mana mungkin bukunya cacat. Dan bener dugaanku, betapa sempurnanya the annual book tahun ini. 
Karena dihari itu Beta mau persiapan ospek, jadilah aku ngulik tu buku sendirian, nyari part kelas aku dan melototin muka-muka yang bikin aku bosen selama dua tahun terakhir. Tapi ternyata rasa bosen yang berlebihan bisa berubah jadi rasa kangen di kemudian hari.
Sebenarnya sih, ada hal yang lebih ngecewain dari ngaretnya the annual book. Yang bikin aku kecewa sampai yang sangat dalam yaitu isi dari bukunya, gimana enggak kecewa, di part kelas aku gaada tulisan Elpasa d’Pako (didikan Pak Joko). Kenapa? Apa karna Pak Joko udah enggak bakal mendidik kita atau adek kelas kita? Dan kenapa juga kita enggak foto bareng sama beliau. Foto terakhir kita bareng sama beliau. Sebelum akhirnya kita nggak bisa ketemu beliau untuk selama-lamanya. Sori kalo lebay.
Masa-masa setelah 23 Mei adalah masa-masa sulit bagi aku. Aku bener-bener nggak tau aku siapa aku. Kayak pas lapor kehilangan KTP waktu itu, pas ditanya “Pekerjaannya apa, Mbak?” Aku bener bener diem sampai akhirnya Pak Polisi bilang “Pelajar/Mahasiswa, ya?”. Diiyain aja deh walaupun saat itu pelajar bukan, mahasiswa juga bukan.
Semuanya masih terasa sulit bahkan sampai pertengahan Agustus. Pada suatu sore yang indah itu..
“Mbak Fella sekolah ten pundi?
“Dereng ngertos, Mbak” hehe
“Lah podo karo Unang. Mberoh kae meh dadi opo.”
“....”
Mberoh kae meh dadi opo...
Mberoh kae meh dadi opo.
Setelah delapanbelas tahun mengenal Unang dan merasa lebih baik dari Unang ternyata dugaanku salah, aku dan Unang adalah sama. Ya, pada dasarnya seseorang memang nggak bisa menilai dirinya sendiri. Karna kita butuh cermin untuk melihat siapa kita dan orang lain lah cermin kita yang sebenarnya.
Kemudian pada pagi yang cerah itu, sedang di Kator Polisi bersama Bapak..
“Sekarang lanjutin kemana?”
“Ten Jogja, Bu”
“....”
“....”
“Lha Si Unang (another Unang) mau lanjut kemana?” tanya Bapak.
“Nah itu, kemaren pas ujian D3 dia keterima, malah nggak mau diambil, katanya D3 itu...”
Sebenernya penolakan Unang belum seberapa. Bapak pernah cerita, "Nduk, tadi pas di depan Bapak ngobrol sama orang, dia cerita, anaknya pernah diterima di UGM tapi nggak diambil, dia daftar di Polines dan diambil, semua registrasinya udah diselesain tapi pas dirasa-rasa dia nggak cocok sama jurusannya dan dia tinggal. Kemudian sempat daftar Unnes di Fakultas Bahasa dan Budaya, cocok, dan  sempet dijalanin tapi lama-lama dia merasa kurang sreg. Akhirnya dia masuk FISIP Undip dan sekarang dia udah masuk semester 3. However, hari ini dia ikut tes masuk sekolah kedinasan ini juga.”
Aku rada heran sama cerita ini. Aku percaya sama omongan Bapak, tapi aku sangsi aja sama kebenaran cerita dari orang yang ditemui Bapak. Tapi kalaupun benar, kenapa dia seserakah itu? Kalaupun dia nggak suka kenapa dia daftar, bahkan sempet diambil. Ya sih, kita memang harus menaruh telur ke lebih dari satu keranjang. Tapi kan kasian mereka mereka yang bener bener mantep sama jurusan-jurusan yang disampahkan sama 'si anak ini' tapi malah nggak diterima. Dan pas dia udah jadi mahasiswa kenapa juga dia masih aja nyerobot jatah adek kelasnya.
Ya tapi gimanapun juga nggak boleh suuzdhon sama 'si anak ini'. Mungkin dia punya alesan kenapa dia ngelakuin hal kayak gitu. Kayak Si Unang penolak D3 tadi, alesan dia "Ah D3, nanggung, nanti lulusnya kudu ngulang lagi, transfer, iya kalo transfernya dibuka, kalo enggak? Bla bla bla". (Kalau nggak mau D3 ngapain daftar coy-_-)
Alasan klasik. Tapi kenapa D3 begitu dipandang sebelah mata? Dan bahkan dari perkataan Unang, seakan-akan mending nggak kuliah daripada harus D3. Apa salahnya kuliah D3? Lagian siapa yang tahu masa depan. Pada dasarnya qadha dan qadhar adalah hal yang harus kita imani. Selebihnya, seperti rencana-rencana, usaha-usaha dan lain-lain hanyalah bentuk ikhtiar kita pada Allah dan Ia lah yang menentukan hasilnya.